Dengan khidmat, Pak Narsim (45 tahun) menancapkan sejumlah dupa di depan patung dewa. Seketika aroma dupa memenuhi ruangan merah di belakang Kelenteng Hok Tek Bio.
Wisata Alam di Purwokerto
“Di Purwokerto ada lima kelenteng. Yang ini adalah yang tertua, berdiri sejak tahun 1831,” kata pria yang sudah mengurusi kelenteng selama dua puluh tahunan itu.
Saya menemukan Kelenteng Hok Tek Bio secara kebetulan saja, saat hendak mengamati aktivitas jual beli di Pasar Wage. Kawasan ini lekat dengan nuansa pecinan.
Toko-toko tua di pinggir jalan rayanya masih berdiri kukuh dengan tulisan nama berhuruf timbul. Sinar Agung, Sidamulya, Eko Buwono dan banyak lagi toko lainnya.
Keberadaan pecinan ini berkaitan erat dengan sejarah Purwokerto. Alkisah, banyak petinggi keraton beserta pengikutnya melarikan diri ke wilayah Banyumas.
Mereka membangun komunitas, lantas menamakan tempat tersebut Purwakerta dengan harapan untuk memulai kehidupan yang tenteram, seturut makna nama itu.
Seiring bergeraknya waktu, penyebutan Purwakerta berubah menjadi Purwokerto sebagaimana berlaku kini.
Kendati hanya menyandang status sebagai kota kabupaten dan tidak memiliki pabrik-pabrik besar, Purwokerto bagi saya adalah kota yang cukup sibuk.
Saya tidak tahu sepak terjang kota ini dalam dunia bisnis ataupun moneter, nyatanya ia merupakan kota kelahiran dua sosok penting perbankan Indonesia.
Raden Mas Margono Djojohadikusumo pendiri Bank Niaga Indonesia (BNI) 1946, dan Raden Bei Aria Wirjaatmadja pendiri Bank Rakyat Indonesia (BRI). Kantor perdana BRI pun masih ada dan sekarang berstatus sebagai Museum BRI.
Purwokerto memiliki suhu sejuk, sangat nyaman untuk ditinggali. Mungkin karena itulah kota yang kental dengan dialek Ngapak ini dari dulu menjadi pilihan para pensiunan untuk menghabiskan masa tua mereka.
Pertumbuhan sekolah-sekolah, mulai dari level dasar hingga universitas, memberi warna tersendiri. “Ya, anak-anak muda membuat Purwokerto jadi ramai,” imbuh Pak Narsim.
Gunung Slamet yang berada di sisi utara Purwokerto menarik perhatian saya. Bila cuaca cerah, siapa pun bisa menilik puncaknya dari tiap sudut kota. Sayangnya, saat saya datang, langit biru hanya muncul dalam durasi singkat. “Bulan Oktober seperti sekarang cenderung mendung.
Tapi cobalah ke Baturaden. Kamu akan suka,” pesan Lewi Cuaca, seorang kerabat yang memiliki gudang gula di Purwokerto. Dari dia saya mendapat banyak informasi serta kemudahan, termasuk pinjaman sepeda motor agar leluasa berkeliling.
Saya pun berangkat ke Baturaden, yang berada di kaki Gunung Slamet. Dari pusat kota, hanya butuh waktu tiga puluh menit, nyaris tanpa kelokan.
Menjelang tiba, agak dijalari perasaan déjà vu karena atmosfernya mengingatkan pada Bedugul di Bali. Kabut mengambang, udara dingin, hijau tanaman di mana-mana dan tersedia banyak pilihan akomodasi dengan fasilitas memadai.
Sama halnya dengan Bedugul, bertahun-tahun Baturaden pun telah menjadi ikon wisata Purwokerto.
Kunjungan ke air terjun adalah agenda wajib. Sumber mata air yang melimpah, ditambah topografi ngarai serta perbukitan menjadikan wilayah Baturaden tiada ubahnya seperti surga air terjun.
Jumlahnya tidak sedikit, lebih dari sepuluh, masing-masing dengan karakternya sendiri. Dalam bahasa setempat, air terjun disebut curug.
Saya memilih jalur Ketenger. Di sini berderetan saya jumpai Curug Bayan, Curug Gede, Curug Celiling, Curug Pengantin dan Curug Jenggala. Debit airnya besar.
Yang spesial adalah rute menuju Curug Jenggala. Saya mengagumi cara warga lokal mengelola destinasi di kampung mereka, bersinergi dengan Perusahaan Umum Kehutanan Negara Banyumas, menjaga kebersihan juga secara swadaya menyediakan sejumlah sarana bagi pengunjung.
Pada zaman Belanda, area ini menjadi penyedia asupan air minum, sehingga pipa-pipa besar dan pos kontrol masih terjaga dan berfungsi dengan amat baik.
Tatakan jalan berbatu yang saya lalui juga kentara peninggalan Belanda. Suprapto, salah satu warga yang bergiat sebagai Caraka Wisata (pemandu wisata desa), mengungkapkan bahwa proyek pengelolaan air di Ketenger ini sudah ada sejak tahun 1933.
“Air dari sini juga dimanfaatkan untuk pembangkit listrik (PLTA) yang digagas oleh kontraktor Belanda NV. ANIEM 9 (N.V. Algemeene Nederlandsch Indische Electriciteit Maatchappy),” terang pria yang tiap hari setia mengenakan pakaian Jawa ini.
Masih terkait air, penjelajahan saya berlanjut ke Telaga Sunyi. Sejatinya tempat ini adalah sungai yang membentuk beberapa telaga hasil erosi.
Airnya sungguh bening, bahkan hanya berdiri di pinggirannya pun saya bisa melihat dasar sungainya. Saya menyukai kebun-kebun rumput gajah yang dibudidayakan di kampung-kampung sebelah timur Telaga Sunyi. Dari sini pemandangan ke arah puncak Gunung Slamet juga sangat jelas.
Tak terlalu jauh dari Telaga Sunyi, terdapat Pancuran Pitu. Untuk sampai ke sana, saya menyusuri jalanan sunyi membelah lebatnya Kebun Raya Baturaden.
Pohon-pohon damar (Agathis dammara) tumbuh rapat tinggi menudungi langit, menciptakan kesan mistis, persis hutan dalam film Rise of the Planet of the Apes.
Setelah memarkir sepeda motor, saya berjalan kaki menuruni rentetan anak tangga yang panjang dengan panorama ke arah kota. Sapaan dari seorang penjual badek menghentikan langkah saya sejenak.
Badek adalah minuman manis dari sadapan pohon aren yang diberi es. Segar nian menghalau penat dan dahaga.
Kontras dengan air terjun yang semuanya dingin, Pancuran Pitu merupakan sumber air panas alami yang keluar dari rusuk Gunung Slamet.
Walaupun mengandung belerang, pancuran ini tidak menebarkan bau sama sekali. Pengunjung boleh berendam dalam kolam yang disediakan, mandi langsung di pancuran-pancuran terbuka atau mendatangi Gua Selirang.
Warga sekitar ada yang menawarkan jasa pijat refleksi serta lulur berbahan belerang. Perjalanan dari satu titik ke titik lain yang terus bersemuka dengan air selama di Baturaden ini ibarat mengikuti “purity trails”, rute untuk menyegarkan raga, memurnikan pikiran.
Baturaden tidak hanya memiliki daya tarik wisata air. Saya dianjurkan untuk singgah ke Small World, sebuah theme park yang menampilkan ikon-ikon monumen dunia dalam versi mini.
Sebenarnya agak janggal bagi mereka yang sudah melihat monumen-monumen ini dalam versi sesungguhnya, namun jika dipandang dari sisi edukasi, Small World cocok untuk mengajak anak-anak mengenali dunia.
Ada Piramida dari Mesir, Menara Pisa dan Colosseum dari Italia, Patung Liberty dari Amerika, Menara Eiffel dari Perancis, Kincir Angin beserta Bunga Tulip dari Belanda, Patung Merlion dari Singapura, Monas dari Indonesia, Menara Petronas dari Malaysia, Sydney Opera House dari Australia dan masih banyak bangunan dunia lainnya.
Menurut pihak pengelola, rencananya sekitar 30 miniatur dunia dihadirkan di sini. Terlepas dari miniatur-miniatur ini, saya lebih suka memandangi taman bunga warna-warni di sisi selatan Small World.
Kembali ke kota, Pak Narsim dari Kelenteng Hok Tek Bio mengirimi saya pesan singkat, katanya sore nanti digelar upacara Sembahyang Tiong Chiu Pia.
Saya diundang untuk turut hadir dalam doa kepada Malaikat Bumi sebagai pernyataan syukur atas berkah yang diperoleh. “Kamu bisa menikmati kue rembulan sepuasnya,” tulis Pak Narsim. Tentu saya akan hadir. Mensyukuri badan dan pikiran saya yang disegarkan selama di Purwokerto.
Hal lain yang dapat dilakukan:
Tempat Menginap – Java Heritage Hotel
Hotel mewah dan elegan yang hadir di pusat Kota Purwokerto namun terlingkupi oleh atmosfer natural. Kolamnya diklaim sebagai kolam hotel terbesar dan terbaik se-Jawa Tengah.
Java Heritage memiliki 169 kamar (Deluxe, Suite, Cottage) serta fasilitas spa, fitness centre dan aerobic studio.
Penghasil Gula Semut
Purwokerto dan wilayah sekitarnya dikenal sebagai penghasil gula semut. Warga menyadap nira kelapa lalu memasaknya hingga mengental.
Setelah mengeras, gula dihaluskan dan diayak menjadi butiran halus cokelat kemerahan. Kita bisa melihat proses pembuatan gula semut ini di desa-desa yang memiliki kebun kelapa. Gula semut Purwokerto diproses secara organik.
Taman Anggrek
Berada di pinggir jalan menuju Desa Ketenger, kebun ini dikelola oleh Pak Warkum sejak tahun 2015. Bermacam tanaman anggrek dan bunga-bunga lainnya dibudidayakan di sini.
Pak Warkum selalu hadir setiap hari di kebun ini dan sangat ramah menyapa pengunjung. Bila berminat, bisa juga membeli dan membawa pulang sebagai kenang-kenangan. Kunjungan ke kebun ini tidak dipungut biaya.
Kuliner – Mendoan
Mendoan Purwokerto atau lazim disebut mendoan Banyumas adalah makanan khas berbahan dasar tempe.
Berbeda dari tempe goreng biasa, mendoan digoreng setengah matang saja, disajikan selagi hangat dalam acara kumpul keluarga atau teman.
Aktivitas makan mendoan beramai-ramai ini oleh warga Purwokerto disebut “medang”. Menemukan makanan ini tidaklah sulit, karena tersedia di seluruh penjuru Purwokerto.(Valentino Luis – GIA)