Pulau ini memang memiliki relief yang unik, serupa punggung kadal raksasa yang sedang berenang dan muncul di permukaan laut.
Pada jaman dahulu kala sebagian besar wilayah Indonesia adalah “Ruang Kosong Dunia”, sebagaimana yang disebut oleh penulis Joseph Conrad.
Wisata Alam di Pulau Komodo
Konon katanya, peta Pulau Komodo yang masih kosong dibubuhi peringatan “Di Sini Ada Naga”, yang arti nya sebuah tempat yang berbahaya atau belum terjamah manusia.
Saat berlayar melintasi perairan ini dengan kapal The Adelaar, kapal layar Belanda buatan tahun 1902, saya terkesima melihat bagaimana Pulau Komodo sama seperti yang digambarkan dalam legenda, baik secara harfiah maupun kiasan.
Secara harfiah, memang ada naga yang berkeliaran di pantai dan daerah pedalaman di pulau ini, dan secara kiasan bila dilihat dari bentuk pulaunya.
Pulau ini memang memiliki relief yang unik, serupa punggung kadal raksasa yang sedang berenang dan muncul di permukaan laut.
Hampir seluruh perbukitannya ditutupi padang rumput kering dan semak belukar, dengan parit berbatu yang membentangi lereng sehingga tampak seperti lipatan-lipatan kulit bersisik.
Sementara di bagian lain, singkapannya yang bergerigi menyerupai deretan gigi tajam di cakrawala yang merah menyala kala senja.
Sebagai destinasi wisata alam, Pulau Komodo dan tetangganya Pulau Rinca adalah salah satu yang terbaik.
Dengan pemandangan menakjubkan, ditambah keberadaan satwa langka raksasa dan sejumlah lokasi menyelam atau diving terbaik di dunia.
Tempat ini menawarkan petualangan yang menakjubkan dan tanpa batas.
Baru menghabiskan empat hari dari total
10 hari perjalanan wisata, namun saya sudah menyaksikan gunung berapi yang menyala, dan melihat dari dekat kura-kura, hiu, pari manta, serta jutaan kelelawar raksasa yang mengepak di atas kepala saat mereka terbang kembali ke daratan Flores pada malam hari.
Keesokan harinya, pemandu selam menyarankan agar kami bangun lebih pagi untuk melihat kelelawar kembali, namun sayangnya banyak dari kami yang bangun kesiangan.
Sebagai gantinya, kami disuguhi pemandangan matahari terbit paling indah yang pernah saya lihat.
Kami berenang melintasi karang berkilauan dengan ikan-ikan yang tak terhitung banyaknya. Kami juga menjumpai pari manta besar di sekitar terumbu karang yang dihuni ikan-ikan pembersih
Setelah itu kami berangkat menuju lokasi menyelam bintang lima Siaba Besar, untuk bersenang-senang seharian di bawah laut.
Kapal The Adelaar kami sudah dilengkapi dengan bermacam peralatan berkualitas untuk scuba diving, namun pada perjalanan wisata alam kali ini, saya dan yang lainnya memilih untuk sekadar snorkelling santai.
Apalagi, sebagian besar terumbu karang di sini cukup dangkal dan menawarkan pengalaman yang tak kalah spektakuler nya.
Selain itu, Kamu juga bisa menyaksikan atraksi satwa-satwa laut seperti yang dilihat para penyelam scuba puluhan meter di bawah permukaan.
Rasanya menakjubkan mengetahui dermaga kecil ini adalah pintu masuk ke salah satu dari hanya dua tempat di dunia di mana Anda bisa melihat komodo liar, yang telah menjadi salah satu dari tujuh keajaiban alam di dunia.
Kita tinggalkan dulu cerita tentang keindahan wisata alam bawah laut. Tujuan utama perjalanan kali ini adalah melihat “naga” legendaris, yang menyambut kami saat tiba pagi hari di Loh Liang-pintu gerbang untuk menjelajahi Pulau Komodo.
Rasanya menakjubkan mengetahui dermaga kecil ini adalah pintu masuk ke salah satu dari hanya dua tempat di dunia di mana Kamu bisa melihat komodo liar (satu lagi di dekat Loh Buaya di Rinca), yang telah menjadi salah satu dari tujuh keajaiban alam di dunia.
Saya juga kagum mengetahui bahwa saya bukan satu-satunya orang bernama Burden yang pernah mengunjungi kawasan ini. Ekspedisi pertama yang mendokumentasikan Komodo dilakukan pada tahun 1926 oleh seorang Amerika bernama W. Douglas Burden.
Sebelum melewati semak-semak kering, dua pemandu lokal memberikan arahan singkat dan meyakinkan kami bahwa perjalanan ini aman selama kami mengikuti jalur.
Kurang dari sepuluh menit berjalan, kami melihat komodo sedang berjemur di bawah sinar matahari pagi.
Karena berdarah dingin, hewan ini perlu waktu cukup lama untuk menghangatkan badan, dan sebelum ia mulai bergerak lincah, kami pergi meninggalkannya dan meneruskan perjalanan.
Selanjutnya di sepanjang jalan setapak, kami menemukan sepasang komodo yang lebih tua dan jauh lebih besar mondar mandir di area terbuka yang luas.
Setelah berjemur, keduanya terlihat buas, dengan gumpalan air liur berbisa menetes dari rahang mereka, sementara lidahnya yang bercabang bergerak keluar masuk seperti api.
Aneh dan menyeramkan, tetapi juga menakjubkan.
Setelah kembali dengan selamat ke kapal The Adelaar, kami pun bergerak ke arah utara melewati Wisata Pantai Pink untuk menjelajahi lokasi drift dive atau penyelaman mengikuti arus di sekitar Gili Lawalaut dan Gili Lawadarat.
Di sini, arus bergerak cepat di antara celah-celah sempit yang membentuk lembah bawah laut yang penuh dengan kehidupan.
Perahu pengaman terus mengawasi saat kami berenang melintasi karang berkilauan dengan ikan-ikan yang tak terhitung banyaknya.
Kami juga menjumpai pari manta besar di sekitar terumbu karang yang dihuni ikan-ikan pembersih.
Kembali ke darat, kami mengejar matahari terbenam, menyusuri jalur terjal berkelokkelok menuju spot populer yang menghadap ke belakang Pulau Komodo, dengan asap Gunung Sangeang terlihat di kejauhan.
Sungguh perjalanan wisata alam yang luar biasa.
Beberapa hari berikutnya kami habiskan di dan sekitar kawasan ini, sebelum menyeberang ke Pulau Banta, saat di mana kru menaikkan layar The Adelaar untuk menunjukkan kemegahan kapal tersebut.
Dibangun di sebuah galangan kapal Belanda sekitar satu abad yang lalu, The Adelaar adalah kapal layar cantik berlapis baja yang dirakit ulang dan dibawa berlayar ke Indonesia pada awal tahun 90-an.
Modifikasi mewah pada tahun 2008 memungkinkannya melaju dengan kecepatan tinggi, dan kini kapal tersebut sebagian besar digunakan untuk perjalanan di perairan timur Bali.
Saat kru mengibarkan layar utama, kami melompat ke sekoci untuk berkeliling dan melihat tampilan utuh kapal di bawah layar penuh.
Tempat ini begitu indah, dan kami menghabiskan sore di sini dengan memotret dan bermain di air berwarna biru kehijauan…
Dengan latar belakang tebing laut Banta yang dramatis, layar merah tua pada kapal bersejarah ini terlihat menakjubkan.
Setelah itu kami kembali ke kapal dan melanjutkan perjalanan saat matahari terbenam bertengger tepat di atas lautan di bawah haluan kapal.
Meski telah meninggalkan kawasan taman nasional dan berlayar ke barat menuju Bali, petualangan kami belum berakhir.
Keesokan paginya kami tiba di bawah langit gelap dan berangin di dasar Gunung Sangeang, dengan maksud menjajal lokasi menyelam yang berbeda.
Pulau berbentuk bulat sempurna di ujung timur laut Sumbawa ini sebenarnya adalah salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia, yang letusannya kerap mengganggu penerbangan dan menyebabkan bencana.
Karena posisinya di dasar aliran lahar, lokasi penyelaman kami pagi itu dikenal dengan sebutan “Batu Panas”, yakni kumpulan lempeng batu besar dikelilingi pasir hitam yang menggelegak.
Perairan yang kaya plankton ini dipenuhi kehidupan, dan kami menghabiskan beberapa jam menjelajahi jurang bawah lautnya yang hanya selemparan batu dari garis pantai tempat sapi-sapi melintas.
Perjalanan wisata alam terakhir membawa kami ke Pulau Moyo untuk melihat air terjun terpencil yang dikenal dengan nama Mata Jitu.
Di atas ojek yang melewati jalanan berbatu-batu, saya sempat bertanya dalam hati apakah perjalanan 30 menit yang sulit dari Labuan Aji ini sepadan.
Namun ternyata air terjun Mata Jitu adalah salah satu pemandangan paling indah yang pernah saya temukan di indonesia.
Kolam-kolam batu kapur alami nan jernih mengalir di tengah hutan, bergemuruh tanpa ada satu pun jiwa selain rombongan kami.
Tempat ini begitu indah, dan kami menghabiskan sore di sini dengan memotret dan bermain di air berwarna biru kehijauan, sambil mengingat perjalanan yang benar-benar luar biasa ini. (GIAC-August 2017)